Close

March 6, 2020

Kaidah Kebahasaan Novel

Kaidah Kebahasaan Novel

Seperti yang teman-teman sudah ketahui, bahasa yang digunakan dalam karya sastra seperti novel tentu saja memiliki perbedaan dari bahasa nonsastra seperti bahasa sehari-hari atau bahasa karya ilmiah. Bahasa menjadi medium yang penting bagi setiap pengarang novel karena melalui kata-katalah “dunia” dalam novel dimungkinkan, dibentuk, diciptakan, diabstraksikan, dan ditafsirkan. Oleh karena itu dalam konvensi penulisan karya sastra, karya sastra tidak menggunakan bahasa yang baku dan formal. Struktur novel serta semua yang dikomunikasikan dalam novel dikontrol langsung oleh pengarang melalui manipulasi bahasa. Demi mencapai efektivitas pengungkapan, pengarang novel mensiasati bahasa dengan memanipulasi dan mendayagunakannya secermat mungkin agar tampil sebagai bahasa yang berbeda dengan bahasa nonsastra. Nah, supaya kalian lebih paham kaidah kebahasaan novel, kita belajar bersama-sama, ya, temen-temen.

Ciri pertama bahasa novel adalah adanya upaya pengarang untuk menghidupkan perasaan atau menggugah emosi kita sebagai pembaca, temen-temen. Hal ini penting dilakukan oleh pengarang agar kita bisa masuk ke cerita yang ada dalam novel. Dengan bahasa yang menggugah emosi kita, kita jadi bisa turut merasakan emosi yang dirasakan tokoh cerita dalam novel. Mangkanya gak heran kalau kita acapkali bisa ikutan sedih atau marah atau bahagia saat membaca nasib yang dialami tokoh-tokoh cerita dalam novel. Bahasa emotif inilah yang seringkali juga membuat kita mampu mengidentifikasi diri dengan tokoh cerita dalam novel. Bahkan terkadang kita bisa mengatakan “Wah! Ceritanya gue banget, nih!” saat cerita dalam novel mirip-mirip dengan kisah dalam hidup kita sendiri.

Ciri selanjutnya adalah bahasa yang digunakan dalam novel dipengaruhi oleh subjektivitas pengarangnya. Subjektivitas ini menjadi lumrah karena novel ditulis berdasarkan pandangan hidup pengarangnya. Oleh karena itu saat membaca novel kita bisa mengetahui bagaimana sikap pengarang terhadap masalah-masalah atau konflik yang dihadapi tokoh cerita, baik itu terhadap moralitas atau nilai-nilai sosial yang ada di masyarakat atau unsur ekstrinsik lain yang turut membentuk sebuah novel. Subjektivitas pengarang ini juga turut memperkaya pengetahuan kita, tanpa kita harus mengalami pengalaman yang sama dengan tokoh dalam cerita, temen-temen.

Bahasa dalam novel juga cenderung konotatif atau bukan makna sebenarnya atau makna tambahan yang berada di luar makna sebenarnya. Hal ini berkaitan dengan makna kiasan. Penggunaan bahasa konotatif dalam novel menunjukkan makna kata yang berkaitan dengan nilai rasa karena penciptaan karya sastra pengungkapannya memiliki tujuan estetik atau keindahan. Istilah konotasi ini bisa dibedakan menjadi dua jenis, ya, temen-temen. Pertama, konotasi positif atau kiasan yang mengandung makna positif. Contohnya anak emas (anak kesayangan), kembang desa (gadis yang cantik dan dipuja), dan kutu buku (orang yang rajin membaca buku). Kedua, konotasi negatif atau kiasan yang mengandung makna negatif. Contohnya tikus (koruptor), gerombolan (sekelompok orang), dan serigala berbulu domba (orang jahat yang berpura-pura baik).

Tapi temen-temen perlu inget, selain menggunakan bahasa konotatif, tentu saja novel juga menggunakan bahasa denotatif karena hal ini tidak terhindarkan. Bila bahasa novel menggunakan kalimat-kalimat konotatif saja, kita sebagai pembaca tentu akan kesulitan memahami novel yang kita, ya, temen-temen. Karena biar bagaimanapun pemahaman pembaca atas novel berangkat atau mengacu pada makna denotatif. Selain itu konotatif dan denotatif, bahasa dalam novel memiliki bahasa ekspresif, yang memberikan gambaran atas suasana pribadi pengarang atau suasana hati tokoh dalam cerita. Bahasa dalam novel juga bersifat sugestif atau mempengaruhi pembaca mempercayai cerita yang dikisahkan dalam novel. Terakhir, bahasa novel juga bersifat plastis, bersifat indah yang digunakan juga untuk menggugah perasaan pembacanya.

Bahasa dalam novel juga menggunakan beberapa kata khusus, seperti kata yang menyatakan urutan waktu, kata kerja yang menggambarkan tindakan, kata kerja yang menunjukkan kalimat tak langsung, kata kerja yang menggambarkan pikiran dan perasaan tokoh dalam cerita, dan kata-kata sifat. Kita bahas satu-satu, ya, temen-temen. Kata yang menyatakan urutan waktu (konjungsi, temporal, kronologis) digunakan dalam novel karena kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa dalam novel berlangsung tidak selalu pada saat ini, melainkan ada yang terjadi pada masa lampau. Oleh karena itu dalam novel, kita sering menemukan kata-kata seperti awalnya, mula-mula, sejak saat itu, kemarin, malam itu, dan lain sebagainya.

Nah, kalau kata kerja yang menggambarkan tindakan (kata kerja material), digunakan dalam novel karena pengarang perlu menggambarkan tindakan yang dilakukan oleh tokoh-tokoh dalam ceritanya. Ini juga berfungsi untuk memberikan gambaran sikap para tokoh dalam menghadapi situasi tertentu atau gambaran situasi hati para tokoh. Misalnya kalau tokohnya marah, pengarang akan menggambarkan si tokoh membanting bukunya dengan kesal.

Sementara penggunaan kata kerja yang menunjukkan kalimat tak langsung, digunakan oleh pengarang novel untuk menceritakan tuturan atau ucapan para tokoh dalam novelnya. Kata kerja ini bisa dilakukan dengan kutipan yang berupa dialog atau kalimat biasa yang menggambarkan tuturan tokoh. Contoh dari penggunaan kata kerja ini adalah menurut, menyatakan, mengungkapkan, menceritakan mengenai, mengatakan, menanyakan, dan lain sebagainya.

Pada kata kerja yang menggambarkan pikiran dan perasaan tokoh dalam cerita (kata kerja mental), pengarang menggunakannya agar kita mendapatkan gambaran jelas mengenai pikiran dan perasaan tokoh atau pergulatan batin yang dirasakan oleh tokoh atas situasi yang mengandung konflik. Contoh kata kerja mental ini adalah merasakan, mendambakan, mencintai, menginginkan, menganggap, dan lain sebagainya. Contoh penggunaannya adalah saat tokoh dalam cerita merasa bahagia karena jatuh cinta, maka pengarang akan menggambarkan tokoh tersebut merasakan hatinya berbunga-bunga.

Terakhir, kata-kata sifat digunakan oleh pengarang untuk memberikan gambaran atau deskripsi mengenai tokoh, tempat, dan suasana. Penggunaan ini penting dilakukan oleh pengarang agar kita sebagai pembaca mendapatkan gambaran jelas mengenai ciri-ciri fisik tokoh, gambaran tempat yang ditinggali atau dikunjungi tokoh, dan suasana yang terjadi saat cerita berlangsung.

Gimana temen-temen? Kalian udah paham kan kaidah bahasa yang digunakan dalam novel apa saja?  Sekarang kalian bisa membaca novel sambil iseng melakukan analisis kaidah bahasa, deh. Nah, biar kalian makin paham kaidah penggunaan bahasa dalam novel ini atau kalau kalian mau belajar materi mata pelajaran lainnya, buruan kalian unduh aplikasi Pahamify. Caranya gampang banget, kok. Kalian tinggal buka Google Play atau App Store di HP kalian terus cari Pahamify, unduh dan langganan, deh. Di sana kita bisa belajar bareng dengan seru, temen-temen! Sampai jumpa di artikel lainnya, ya.

Penulis: Salman Hakim Darwadi


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *