Pahamifren pernah kepikiran, gak, kenapa negara Indonesia kita yang tercinta ini masih harus mengimpor beras dari negara lain? Padahal negara kita termasuk negara agraris, ya? Jawabannya, ya, karena produksi beras kita tidak bisa mencukupi kebutuhan masyarakat Indonesia, yang hampir seluruhnya, terbiasa makan nasi. Tapi, kalian tahu gak, sih, kalau sebenarnya negara kita pernah berhasil mencukupi kebutuhan beras kita sendiri?
Keberhasilan pemenuhan kebutuhan beras alias swasembada beras ini pernah terjadi pada tahun 1979 dan 1985, pada masa pemerintahan Orde Baru. Oleh karena itulah di jaman Orde Baru dulu, swasembada beras ini dianggap sebagai salah satu program pemerintah yang berhasil mencapai targetnya. Nah, keberhasilan program swasembada beras pada masa Orde Baru ini ada kaitannya dengan Revolusi Hijau yang digalakkan di seluruh dunia, pada akhir tahun 1960-an. Biar kalian paham apa itu Revolusi Hijau dan bagaimana penerapannya di Indonesia, kamu simak baik-baik artikel ini, ya!
Revolusi Hijau merupakan upaya peningkatan produksi pertanian di seluruh dunia dengan menggantikan teknologi pertanian tradisional ke teknologi pertanian modern. Revolusi Hijau ini berfokus pada penemuan varietas bibit unggul biji-bijian seperti gandum, padi, dan jagung. Upaya tersebut turut didorong dengan penggunaan pupuk kimia, agrokimia, pasokan air yang terkontrol (yang umumnya melibatkan irigasi), dan metode penanaman yang lebih baru, yang lebih modern. Penemuan varietas bibit unggul dan keterlibatan penggunaan produk-produk teknologi modern ini merupakan satu paket yang harus dilakukan dalam Revolusi Hijau.
Upaya peningkatan produksi pertanian dalam Revolusi Hijau dilatarbelakangi pemikiran Thomas Robert Malthus, seorang tokoh dari Inggris yang memiliki peran di bidang ekonomi politik dan demografi, yang berpendapat bahwa kemiskinan merupakan hal yang tidak dapat dihindari karena semakin meningkatnya pertumbuhan penduduk, yang tidak dibarengi dengan peningkatan produksi pangan.
Pemikiran Robert ini kemudian mendorong lembaga bernama Ford Foundation and Rockefeller Foundation untuk melakukan penelitian di negara-negara berkembang, seperti Meksiko dan Filipina. Di Meksiko, kedua lembaga tadi mengembangkan penelitian mengenai varietas gandum baru yang dianggap lebih produktif dan lebih tahan terhadap serangan hama. Varietas gandum ini diciptakan melalui penelitian Norman Borlaug, ilmuwan Amerika Serikat, yang kemudian disebut sebagai bapak dari Revolusi Hijau. Penelitian varietas gandum yang digabungkan dengan teknologi pertanian modern akhirnya membuat Meksiko berhasil menjadi negara pengimpor gandum pada tahun 1960-an.
Setelah penelitian di Meksiko berhasil, pada tahun 1962, Ford Foundation and Rockefeller Foundation mendirikan sebuah badan penelitian tanaman di Los Banos, yang dinamakan International Rice Research Institute atau IRRI. IRRI ini kemudian berhasil mengembangkan varietas bibit padi baru yang produktif, yang kemudian disebut padi ajaib atau padi IR-8. Nah, kalau Revolusi Hijau berhasil di Meksiko dan Filipina, bagaimana dengan di Indonesia, ya?
Kalau di Indonesia, gerakan Revolusi Hijau ini terjadi pada zaman Orde Baru. Saat itu pemerintah memasukkan program tersebut untuk meningkatkan hasil pertanian melalui kebijakan modernisasi pertanian. Sekalipun program ini dilaksanakan secara nasional dan intens di masa Orde Baru, tapi ternyata ide mengenai gerakan Revolusi Hijau ini sudah ada di Indonesia sejak tahun 1950-an.
Ide modernisasi pertanian pertama kali digemakan pada tahun 1960 oleh mahasiswa Fakultas Pertanian Universitas Indonesia, dalam sebuah kegiatan yang dinamakan Demonstrasi Massal atau yang disingkat Demas. Demas merupakan usaha untuk memaksimalkan hasil pertanian, agar bisa mendapatkan keuntungan yang tinggi dengan cara menerapkan prinsip-prinsip bertani yang modern di sekelompok petani tradisional. Demas pada saat itu menerapkan penggunaan varietas bibit unggul, pupuk kimia, pestisida, perbaikan tata cara bertanam, dan penyediaan sarana irigasi yang baik. Kegiatan ini kemudian berkembang dan dikenal dengan nama Panca Usaha Tani. Pemerintah Orde Baru kemudian pada tahun 1964 memformulasikan program tersebut menjadi program pembangunan pertanian, dengan nama Bimbingan Massal atau Bimas.
Lalu apa saja aktivitas yang dilakukan pemerintah dalam program Bimas? Melalui program Bimas, pemerintah melakukan penyuluhan pertanian dan pemberian kredit modal kepada para petani. Program Bimas ini tidak menyasar petani sebagai individu, tapi lebih ditujukan ke kelompok petani. Kelompok petani ini menjadi objek penyuluhan pertanian mengenai bagaimana cara bertani yang modern dan pemberian subsidi. Jadi, selain kelompok petani tersebut dilatih untuk bertani secara lebih modern, mereka juga diberi modal dan subsidi untuk melakukan kegiatan bertani mereka.
Selain itu, program Bimas juga menerapkan ekstensifikasi pertanian, yaitu usaha untuk meningkatkan hasil pertanian dengan cara memperluas lahan pertanian baru, membuka hutan dan semak belukar, membuka rawa-rawa, dan membuka persawahan pasang surut. Pada masa itu, ekstensifikasi ini dilakukan di luar pulau Jawa, khususnya di beberapa daerah tujuan transmigrasi seperti Sumatera, Kalimantan, dan Irian Jaya.
Pemerintah Orde Baru kemudian mengembangkan program Bimas menjadi Inmas atau Intensifikasi Massal. Program ini dilaksanakan pada tahun 1969. Format program ini sebenarnya hampir sama dengan Bimas, yang berbeda adalah Inmas memiliki target pengoptimalan produktivitas lahan dan kualitas hasil pertanian, terutama padi. Pemerintah pada saat itu juga memberikan subsidi varietas bibit unggul, pupuk, pestisida, dan teknologi pertanian lainnya.
Program Inmas menerapkan sistem intensifikasi pertanian, yaitu pengelolaan lahan pertanian dengan sebaik-baiknya, terutama di lahan pertanian yang sempit. Program ini dilakukan melalui Panca Usaha Tani dan dilanjutkan dengan program Sapta Usaha Tani, yaitu dengan melakukan pengolahan tanah yang baik, pengairan yang teratur, pemilihan bibit unggul, pemupukan, pemberantasan hama dan penyakit tanaman serta pengolahan pascapanen.
Pemerintah Orde Baru juga melakukan penataan program ini jadi Intensifikasi Khusus atau Insus, yaitu pengembangan peningkatan hasil dari setiap hektar sawah. Program ini dianggap cukup berhasil karena berhasil meningkatkan produksi pertanian sebanyak dua kali lipat. Pemerintah kemudian juga mengembangkan Insus menjadi Supra Insus, yaitu mengembangkan teknologi pertanian dengan penggunaan zat perangsang tumbuhan.
Selain program intensifikasi dan ekstensifikasi, pemerintah Orde Baru juga mengembangkan mekanisasi dan diversifikasi. Mekanisasi adalah usaha meningkatkan hasil pertanian dengan menggunakan mesin-mesin pertanian modern. Misalnya, dengan pemakaian mesin pengolah gabah.
Sementara diversifikasi pertanian adalah usaha penganekaragaman jenis usaha atau tanaman pertanian agar hasil pertaniannya tidak hanya satu hasil saja. Pemerintah Orde Baru pada saat itu mengimbau kepada para petani agar memperbanyak jenis kegiatan pertanian dan jenis tanaman yang ditanam. Jadi, pemerintah Orde Baru mengharapkan petani dapat menghasilkan uang selain dari menanam padi saja.
Program pengembangan pertanian melalui Revolusi Hijau berdampak pada peningkatan hasil pertanian, khususnya padi. Hal inilah yang membuat Indonesia mampu melakukan swasembada beras pada tahun 1979 dan 1985. Pada dua tahun tersebut Indonesia berhasil meningkatkan produksi pangan sampai 49%. Sekalipun pada tahun-tahun setelahnya keberhasilan swasembada beras ini tidak terulang lagi, tapi ini termasuk dampak positif dari proses modernisasi pertanian dan menjadi salah satu prestasi penting yang dicapai Indonesia pada jaman Orde Baru.
Revolusi Hijau juga berpengaruh pada sistem perekonomian. Hasil pertanian sebagian diperjualbelikan untuk mendapatkan uang. Uang yang mengalir ke pedesaan kemudian menghidupkan ekonomi di tingkat lokal, terutama di beberapa desa yang pada saat itu masih belum mengenal sistem uang. Melalui gerakan Revolusi Hijau, beberapa desa tersebut akhirnya mengenal sistem uang.
Sekalipun Revolusi Hijau memiliki dampak positif, Revolusi Hijau ini juga memiliki beberapa dampak negatif. Dampak negatif Revolusi Hijau ini paling dirasakan para petani di tingkat lokal. Saat teknologi modern masuk, seperti penggunaan traktor untuk mengolah lahan dan masuknya mesin pengolah padi, para petani lokal yang tidak dapat menyesuaikan diri dengan semua perkembangan teknologi tersebut jadi kehilangan pendapatan sebagai buruh tani. Hal ini terjadi karena pekerjaan mereka mulai tergantikan oleh mesin-mesin tersebut. Selain itu, karena ketergantungan pada pupuk kimia dan zat kimia pembasmi hama, biaya produksi menjadi tinggi dan harus ditanggung para petani.
Sekarang kamu udah paham, kan, apa itu Revolusi Hijau? Nah, biar kamu lebih semangat belajar, Pahamify punya paket belajar dengan harga spesial dengan diskon mencapai 90%! Dengan berlangganan paket belajar Pahamify ini, kamu bakalan dapet akses fitur-fitur Pahamify, seperti video pembelajaran, rangkuman, flashcard, quiz, kisi-kisi materi ulangan, video tips belajar, hingga info yang kamu butuhkan mengenai kampus idamanmu. Promo ini berlaku sampai 31 Juli 2020.
Jadi tunggu apalagi? Yuk #TeruskanSemangatBelajarmu di rumah aja bersama Pahamify dengan unduh aplikasi Pahamify sekarang juga!
https://youtu.be/MVsI9FBvRcw 8 Mei 2023. adalah hari ke 128 di tahun 2023. Diumumkan sebagai jadwal tentatif UTBK untuk seleksi masuk PTN.…
Kegiatan akademik tahun ajaran 2022/2023 baru saja dimulai, tapi Pahamifren merasa kok temen-temennya sudah pada ambis buat SNMPTN?! Atau jangan-jangan…
Pahamifren sudah ada yang masuk kembali ke sekolah? Bagaimana rasanya belajar dan berkumpul langsung dengan teman-teman? Mipi yakin pasti seru…
Periode Promo: 7 Juli - 10 Juli 2022 Halo, Pejuang PTN 2023! Gimana, udah mulai persiapan untuk hadapi UTBK SBMPTN…
Saat kamu memutuskan untuk melanjutkan pendidikanmu ke jenjang perguruan tinggi, kamu bukan hanya harus memikirkan program studi (prodi) apa yang…
Halo, Pahamifren! Kamu pasti udah ngga asing dengan istilah UH (Ulangan Harian), UTS (Ujian Tengah Semester), UAS (Ujian Akhir Semester),…