Close

March 20, 2020

Cerita Fiksi

Cerita Fiksi

Teman-teman pasti udah gak asing dengan kata “fiksi”. Kata ini berasal dari bahasa Inggris yang merujuk pada sesuatu yang direka atau dikhayalkan, yang mengandung aspek “nonreal” atau tidak nyata. Secara etimologis, kata “fiction” ini berasal dari bahasa Latin “fictio“ yang memiliki arti membuat, membentuk, menciptakan, mengadakan. Dari sini kita bisa memahami kalau cerita fiksi adalah cerita yang mulanya tidak ada kemudian dibuat, dibentuk, diciptakan atau diadakan dengan menggunakan imajinasi pengarang.

Oleh karena itu, cerita fiksi seringkali dipertentangkan dengan karangan nonfiksi, yang merujuk pada tulisan yang didasarkan pada fakta, realitas atau hal-hal yang benar-benar terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Biar kalian lebih paham, kita pelajari bersama-sama, yuk, temen-temen.

Pengertian Cerita Fiksi

Cerita fiksi seringkali disebut juga cerita rekaan atau teks naratif karena tidak menyaran pada kebenaran sejarah, melainkan pada karya yang menceritakan sesuatu yang bersifat rekaan, khayalan, sesuatu yang tidak benar-benar terjadi atau tidak ada, sehingga cerita jenis ini tidak perlu dicari kebenarannya dalam kehidupan nyata. Jadi, sekalipun seorang pengarang menulis fiksi berdasarkan kehidupan sehari-hari atau peristiwa-peristiwa sejarah, kita sebagai pembaca tidak akan menemukan peristiwa yang sama persis dengan cerita yang dibuat pengarang tersebut, karena semua cerita tersebut sudah diolah dan dibumbui imajinasi pengarang. Fakta dan peristiwa yang ada dalam kehidupan nyata oleh pengarang hanya dijadikan bahan atau sumber penceritaan saja.

Mangkanya, sekalipun ada nama, tempat ataupun kronologinya, kesemua unsur tersebut tidak akan sama dengan yang terjadi dalam kehidupan nyata. Cerita fiksi juga acap kali dibangun melalui logikanya sendiri, yang sesuai dengan bangunan cerita tersebut. Oleh karena itu, kita bisa mendapati hal-hal atau kejadian-kejadian yang tidak dapat diterima akal kalau terjadi dalam kehidupan sehari-hari kita. Semisal, dalam novel tentang dunia penyihir, sihir-sihir atau keajaiban yang ada di dunia penyihir dalam novel tersebut tidak mungkin terjadi dalam kehidupan nyata.

Ciri-Ciri Cerita Fiksi

Nah, kalian sekarang udah bisa membedakan fiksi dengan nonfiksi, kan? Supaya kamu lebih paham, sekarang kita bahas ciri-cirinya, yuk! Seperti yang udah disinggung di atas, ciri pertamanya itu bersifat rekaan atau hasil imajinasi pengarangnya. Karena bersifat rekaan, ciri berikutnya adalah kebenaran dalam ceritanya yang bersifat relatif atau tidak mutlak. Hal inilah yang membuat kebenaran dalam cerita ini tidak perlu dicari kebenarannya dalam dunia nyata, berbeda dengan tulisan nonfiksi, yang kebenarannya dapat dibuktikan dengan data empiris. Kebenaran dalam cerita fiksi digunakan untuk mendramatisir hubungan-hubungan antarmanusia, berdasarkan pengamatan dan pengalaman pengarang terhadap kehidupan.

Oleh karena itu, kebenaran dalam cerita fiksi diseleksi dan dibentuk agar sesuai dengan tujuannya yang memiliki unsur estetik, hiburan, dan penerangan mengenai pengalaman hidup manusia. Ciri berikutnya adalah, cerita fiksi cenderung menggunakan bahasa konotatif untuk mencapai tujuan estetiknya. Penggunaan bahasa konotatif ini juga yang membuat tafsir atas karya sastra menjadi beragam, bergantung pada pengetahuan dan pengalaman pembacanya. Cerita fiksi juga tidak memiliki sistematika yang baku karena berkaitan dengan kreativitas manusia dalam menciptakan kebaruan dalam berkarya. Mangkanya terkadang kita tidak bisa memberikan batasan yang baku antara puisi dengan prosa, misalnya. Karena ada puisi yang bahasanya menyerupai bahasa prosa dan sebaliknya, ada karya prosa yang bahasanya menyerupai bahasa puisi.

Selanjutnya, cerita fiksi memiliki ciri menyasar pada emosi atau perasaan pembaca. Hal ini dilakukan agar pembaca dapat mengidentifikasi dirinya dengan cerita, agar dapat turut merasakan emosi yang dirasakan oleh tokoh-tokoh dalam cerita fiksi yang ia baca. Ciri terakhir cerita fiksi adalah memiliki pesan moral atau amanat tertentu. Ini terjadi karena cerita fiksi dibangun melalui pandangan dan pengalaman subjektif pengarang yang membuatnya. Melalui cerita fiksi, pengarang memberikan pendapat subjektifnya mengenai permasalahan-permasalahan yang ada dalam cerita, sehingga setiap cerita fiksi bisa memiliki pesan moral dan amanat tertentu.

Jenis-Jenis Cerita Fiksi

Berdasarkan jenisnya, cerita fiksi dapat dibagi menjadi beberapa bentuk.

1. Cerita Pendek

Biasa disingkat cerpen. Sesuai dengan namanya, cerita ini adalah cerita yang pendek, yang bisa dibaca sekali duduk, sekitar sepuluh hingga dua puluh menit atau setengah sampai dua jam. Panjang cerpen itu sendiri bervariasi, ada yang pendek sekali, yang berkisar 500-an kata; ada cerpen yang panjangnya cukupan (middle short story); dan ada cerpen yang panjang (long short story), yang terdiri dari puluhan ribu kata. Kelebihan dari cerita pendek ini selain padat dan ringkas, dunia imajiner yang ditampilkan dalam cerita pendek hanya menyangkut salah satu sisi kecil pengalaman hidup saja. Contoh dari cerpen ini banyak banget di Indonesia, temen-temen, misalnya “Rahasia Selma” yang ditulis oleh Linda Christanty, terus “Laluba” karya Nukila Amal, “Cinta Tak Ada Mati” karya Eka Kurniawan, dan masih banyak lagi.

Rahasia Selma – Karya Linda Christanty
Sumber: Goodreads

2. Novelet

Novelet ini merupakan karya yang lebih panjang dari cerpen, tapi tidak lebih panjang dari novel. Contoh novelet ini ada “Sri Sumarah” karya Umar Kayam dan “Sagra” karya Oka Rusmini.

Sri Sumarah – Karya Umar Kayam
Sumber: Goodreads

3. Novel

Setelah novelet, ada novel. Seperti yang sudah kamu ketahui, novel memiliki jumlah halaman lebih dari 100 halaman dan memiliki lebih dari 3.500. Berbeda dengan jenis cerita fiksi lainnya, novel memiliki kelebihan berupa penceritaan konflik kehidupan yang jauh lebih kompleks karena tidak terbatas pada jumlah halaman. Contoh dari novel yang ada di Indonesia adalah “Cala Ibi” karya Nukila Amal, “Saman” dan “Larung” karya Ayu Utami, “Kamu: Cerita yang Tidak Perlu Dipercaya” karya Sabda Armandio, “Cantik Itu Luka” karya Eka Kurniawan, dan masih banyak lagi.

Larung – Karya Ayu Utami
Sumber: Goodreads

4. Roman

Selain novel, ada yang disebut sebagai roman. Berbeda dengan novel yang lebih mengacu pada realitas yang lebih tinggi dan psikologi yang lebih mendalam atau lebih realistis, roman merupakan kelanjutan dari epik dan roman Abad Pertengahan yang mengabaikan kepatuhan pada detil. Di Indonesia sendiri batasan antara roman dan novel ini kabur atau tidak jelas, sehingga novel dan roman seringkali dianggap sama dengan novel. Contoh roman Indonesia adalah “Pada Sebuah Kapal” karya N.H Dini, “Belenggu” karya Armijn Pane, “Jalan Tak Ada Ujung” karya Mochtar Lubis, dan lain sebagainya.

Jalan Tak Ada Ujung – Karya Mochtar Lubis
Sumber: Goodreads

5. Cerita Bersambung

Nah, bentuk yang terakhir ada cerita bersambung atau yang biasa disingkat cerbung, temen-temen. Cerbung ini biasanya dipublikasikan di media massa seperti koran atau majalah sekali dalam seminggu. Dalam prosesnya, di Indonesia, cerita bersambung ini biasanya dibukukan menjadi sebuah novelet dalam sebuah kumpulan cerpen atau sebuah novel.

Fungsi Cerita Fiksi

Temen-temen mungkin bertanya-tanya, sebenernya apa sih fungsi dari cerita fiksi? Lalu kegunaannya dalam kehidupan kita sehari-hari apa?

Cerita fiksi mengenai tokoh yang mengalami satu atau berbagai konflik dalam hidupnya, dapat kita jadikan pelajaran dalam kehidupan kita sendiri. Karena berisi mengenai norma-norma yang berlaku dalam sebuah masyarakat, kita bisa belajar juga menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Selain itu, dari cerita fiksi, kita dapat mempelajari budaya yang menjadi latar belakang cerita. Cerita fiksi juga merangsang kita untuk memahami nilai-nilai kemanusiaan, yang juga turut membentuk kita jadi pribadi yang lebih baik lagi. Kalau menurut Murhadi dan Hasanuddin (1992: 12), cerita fiksi memiliki fungsi:

  1. Menyuburkan nilai praktis dan memperkaya nilai normatif serta estetis. Nilai praktis diserap fiksi berdasarkan permasalahan realitas objektif yang dijadikan titik tolak penceritaan. Nilai normatif dan estetis terdapat dalam fiksi berdasarkan hasil penalaran dan pengolahan kematangan intelektual dan visi pengarang.
  2. Media untuk penularan pikiran kreatif, kepekaan rasa, kemapanan visi, kebijakan, dan kearifan pengarang kepada pembacanya. Fiksi juga sebagai media transformasi pemikiran budaya yang pada dasarnya memuat nilai-nilai normatif dan estetis dalam lingkungan budaya tertentu. Fiksi tidak hanya sekadar ekspresi budaya, tetapi sekaligus sebagai alat pengendali budaya. Secara praktis fiksi merupakan alat pendidikan peradaban dan kebudayaan. Fiksi alat pematang emosional dan pengasah rasional.
  3. Fiksi pada hakikatnya merangsang pembaca mengenali, menghayati, menganalisis, dan merumuskan nilai-nilai kemanusiaan. Secara halus dan pasti nilai-nilai itu menjadi terjaga dan berkembang dalam diri pembaca. Pada akhirnya nilai-nilai itu menjadi motivasi dan stabilisasi kepribadian dan perilakunya.

Gimana, temen-temen? Jadi kita tidak bisa meremehkan cerita fiksi hanya karena cerita tersebut dibuat berdasarkan khayalan, rekaan, dan imajinasi pengarangnya belaka, kan? Dari cerita fiksi yang kita baca, kita bisa belajar banyak hal mengenai kehidupan ini.

Kalau kamu masih pengen belajar banyak mengenai cerita fiksi atau materi pelajaran lainnya, buruan kamu buka Google Play atau App Store di HP kamu, terus kamu unduh, deh, aplikasi Pahamify. Di sana kamu bisa belajar dengan cara yang sangat mengasyikkan dan seru melalui video pembelajaran. Ayo, tunggu apalagi?

Buruan unduh dan langganan Pahamify!

Penulis: Salman Hakim Darwadi


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *