Pahamifren, menjelang masa-masa seleksi dan pengumuman masuk PTN 2022 seperti saat ini, pernah nggak sih dalam pikiran kamu merasa takut gagal? Mungkin sebagian dari kamu sudah pernah merasakannya ketika SNMPTN 2022. Sehingga itu memengaruhi persepsi kamu ketika menghadapi SBMPTN 2022 dan Ujian Mandiri. Aduh, kemarin SNMPTN aku nggak lolos, kalau SBMPTN gagal lagi gimana?
It’s okay, Pahamifren. Mipi paham perasaan kamu, mungkin saat ini kamu lagi galau, was-was, takut semua usaha kamu justru dibalas permintaan maaf tidak diterima dari LTMPT. Tetapi daripada berlarut-larut dengan pikiran takut gagal itu, lebih baik kita coba untuk hadapi kegagalan tersebut. Buktikan bahwa kamu sebetulnya tidak gagal, tetapi itu adalah kesempatan untuk kamu memperbaiki hal-hal yang kurang di kesempatan berikutnya.
Lalu bagaimana cara kita menghadapi kegagalan dengan hati lapang? Usut punya usut, pada zaman Yunani Kuno sekitar abad ke-3 SM telah hadir sebuah filsafat yang dinamakan stoa/stoisisme yang ternyata masih cukup relevan untuk menghadapi permasalahan zaman modern.
Salah satunya persoalan bagaimana kita melihat kegagalan sebetulnya bukan merupakan sesuatu yang “gagal”. Sebelum kita bahas lebih jauh, yuk coba kita simak gimana orang Yunani Kuno dulu berhadapan dengan kegagalan.
Zeno dan Stoisisme
Dirangkum dari buku Filosofi Teras milik Henry Manampiring, terkisah kira-kira 300 tahun SM, seorang pedagang kaya dari Siprus bernama Zeno melakukan perjalanan dari Phoenicia ke Peiraeus dengan kapal laut melintasi Laut Mediterania. Barang yang dibawa berupa pewarna tekstil ungu yang amat mahal dan sering dipakai untuk mewarnai jubah para raja. Malang menghampiri ketika kapal yang ditumpangi Zeno karam dan seluruh dagangannya hilang.
Tidak hanya kehilangan seluruh barang dagangannya yang sangat mahal, Zeno juga harus terdampar di Athena. Tempat ini begitu asing bagi Zeno. Tetapi suatu hari di Athena ia mengunjungi toko buku dan menemukan sebuah buku filsafat yang menarik hatinya. Ia pun bertemu dengan filsuf-filsuf yang menulis buku tersebut, hingga akhirnya belajar dari filsuf yang berbeda dan mulai mengajar di sebuah teras berpilar (dalam Bahasa Yunani disebut Stoa).
Nah, begitulah kisahnya Zeno dari yang semula berdagang menjadi seorang filsuf. Kalau Pahamifren mengalami hal seperti Zeno, kira-kira apa yang akan kalian lakukan? Hmm, kalau Mipi mungkin akan nangis sambil meratapi nasib dulu ya. Tapi Zeno ini justru merasa bahwa kemalangan dan kegagalan yang bertubi-tubi menimpanya ini sebagai jembatan untuk menemukan ketenteraman dalam dirinya ketika dihadapkan pada situasi yang kurang menguntungkan.
Kok bisa sih, gagal tapi merasa tenteram? Salah seorang kaum Stoa, Marcus Aurelius pernah menulis dalam buku Meditation: “Jika kamu merasa susah karena hal eksternal, maka perasaan susah itu tidak datang dari hal tersebut, tetapi oleh pikiran/persepsi sendiri. Dan kamu memiliki kekuatan untuk mengubah pikiran dan persepsimu kapan pun juga.”
Jadi semua perasaan khawatir, cemas, was-was, ketakutan akan kegagalan yang kita rasakan itu datangnya dari pikiran kita sendiri. Dan good news, kita sebenarnya mampu mengubah pikiran/persepsi kita tanpa mengubah peristiwa eksternal yang sudah terlanjur terjadi. Lantas bagaimana cara mengubah persepsi buruk mengenai kegagalan dengan filsafat stoisisme? Yuk, simak pembahasan berikut!
Cara Hadapi Kegagalan dengan Stoisisme
1. Berhenti Membandingkan Diri Sendiri dengan Orang Lain
Dalam buku “Letters from a Stoic” yang ditulis oleh Seneca, seorang filsuf Stoa mengatakan bahwa kunci untuk merasa tenang dalam menghadapi berbagai hal adalah dengan tidak membandingkan diri sendiri dengan orang lain. Misalnya, teman kalian sudah diterima di universitas yang mereka inginkan melalui SNMPTN atau SBMPTN, tapi kamu sendiri belum diterima dan itu cukup memengaruhi pikiran kamu, seperti “mengapa aku sendiri yang gagal tapi mereka berhasil?”. Hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa setiap orang memiliki jalannya masing-masing dan tugas Pahamifren adalah tetap fokus dan berusaha mencapai tujuan tersebut.
2. Membebaskan Diri dari Ketakutan dan Harapan
Hecato seorang filsuf Stoa mengatakan, “Berhenti berharap dan Anda akan berhenti takut”. Ini terdengar agak membingungkan ya Pahamifren, masa kita tidak bisa berharap seperti orang yang putus asa? Tetapi maksud dari Hecato ini sebetulnya bahwa ketakutan dan harapan disebabkan oleh hal yang sama, yaitu pikiran kita melompat ke masa depan melalui imajinasi.
Hal inilah yang membuat kita terkungkung dengan rasa takut apabila harapan kita tidak terpenuhi. Sehingga untuk membebaskan diri dari rasa takut akan kegagalan, maka kita harus berhenti memproyeksikan diri ke masa depan dan hidup dengan berusaha semaksimal mungkin pada masa kini.
3. Kenali Hal-hal yang Dapat Kita Kendalikan dan Tidak Bisa Kita Kendalikan
Salah satu prinsip fundamental filsafat stoisisme ini adalah bahwa hidup terdiri dari hal-hal yang dapat kita kendalikan dan tidak bisa kita kendalikan. Epitectus dalam bukunya yang berjudul “Discourses” mengatakan bahwa hal-hal eksternal yang berada di sekeliling kita berada di luar jangkauan kendali kita tetapi kita dapat memilih bagaimana bereaksi terhadap hal tersebut.
Misalnya, saat pengumuman SBMPTN, Pahamifren dihadapkan pada kekecewaan dan akhirnya menangis lalu mengurung diri di kamar karena tidak diterima di universitas dan jurusan pilihan. Padahal kamu meyakini bahwa kamu sudah berusaha semaksimal mungkin. Nah, sebetulnya hasil dari pengumuman tersebut merupakan hal diluar kendali kita dan bagaimana Pahamifren bereaksi atas pengumuman tersebut dengan menangis dan mengurung diri di kamar dapat diubah ke dalam perspektif yang lebih menguntungkan dan dapat dikontrol.
Mengapa hasil dari pengumuman SBMPTN di luar kendali kita? Karena dapat kita bayangkan bahwa dari ribuan siswa yang berkompetisi untuk memperebutkan kursi di universitas, ada berapa orang yang ternyata memiliki pilihan yang sama dengan kamu? Kemudian ada berapa orang yang ternyata sudah belajar lebih awal dari kamu sehingga skor yang didapatkan lebih tinggi? Dan jangan lupakan juga, siapa yang menyangka ternyata soal yang keluar berada diluar dugaan kamu dan cukup sulit untuk ditaklukkan.
Nah, ketika kamu sudah paham dengan konsep ini, maka kamu dapat menekan perasaan kekecewaan itu. Sebab hal tersebut tidak sepenuhnya terjadi karena faktor internal.
4. Amor Fati: Mencintai Takdir
Pernah nggak sih, ketika Pahamifren dihadapkan pada suatu peristiwa yang membuat diri kalian merasa gagal atas sesuatu lalu kalian berandai-andai? Misalnya, “Seandainya saja aku belajar lebih keras. Seandainya saja aku tidak terlalu percaya diri dengan pilihan saat ini. Seandainya saja aku punya kesempatan untuk mengulang kembali ujian SBMPTN. Seandainya saja…”
Stoisisme memandang seluruh alam semesta sebagai suatu keteraturan dan keterkaitan satu sama lain, artinya kita bisa menyangkal (melawan alam) atau kita bisa belajar menerima masa kini bahkan “mencintainya”. Hah? Apakah ada orang yang mencintai kegagalan? Mungkin terdengar seperti delusi, tetapi sesuatu disebut delusi ketika bertentangan dengan realitas. Misalnya, belum diterima di universitas manapun tapi ngaku ke orang lain sebagai mahasiswa UI.
Filsafat ini dapat melatih kebajikan dalam diri kita, kita bisa melihat sesuatu yang kita sebut kegagalan sebagai kesempatan untuk berusaha lebih baik lagi. Kita akhirnya bisa memilih antara, “Aku gagal lolos SBMPTN, aku nggak mau hal ini terjadi!” atau, “Aku gagal lolos SBMPTN, tapi ini udah kejadian dan bisa aku jadikan pelajaran, bahkan bisa jadi kesempatan untuk memperbaiki diri, belajar ikhlas, dan lain-lain.”
Nah, itulah beberapa cara yang dapat kamu renungkan ketika kamu merasa gagal mencapai sesuatu yang sudah kamu idam-idamkan, melalui sudut pandang filsafat stoisisme. Mudah-mudahan, ulasan kali ini bisa membantumu berdamai dengan diri sendiri dan tetap semangat berusaha masuk ke kampus impian.
Untuk mengetahui lebih banyak lagi tips-tips dan artikel menarik seputar belajar, SBMPTN, Ujian Mandiri dan lainnya, kamu bisa mencoba fitur Pahami Tips di website dan aplikasi Pahamify.
Penulis: Emilia Rohmah
Referensi:
Epitectus. (2016). The discourses of epitectus: Epitectus. California: CreateSpace Independent Publishing Platform.
Manampiring, H. (2020). Filosofi teras: Filsafat Yunani-Romawi Kuno untuk Mental Tangguh Masa Kini. Kompas: Jakarta.
Seneca, L. A. (1969). Letters From a Stoic. Penguin Books: London.