Close

April 16, 2020

Sejarah – Pergerakan Nasional

Pergerakan Nasional

Masa penjajahan bangsa Eropa di Indonesia sangat menyedihkan dan menyakitkan. Bangsa Indonesia saat itu hidup bagaikan budak di negeri sendiri. Selain tenaga mereka yang diperas untuk menjadi budak, bangsa Indonesia atau pribumi diwajibkan untuk menyetor pajak atau hasil pertanian. Tidak ada akses pendidikan untuk pribumi. Bahkan, kaum pribumi tidak mendapatkan pelayanan publik yang baik. Kemiskinan merajalela dan musibah kelaparan terjadi di mana-mana. 

Sayangnya, tidak ada yang berani melawan penjajah pada saat itu. Kaum pribumi takut jika melawan, mereka akan mendapat hukuman yang kejam dan mengerikan. Sehingga, penjajah semakin semena-mena terhadap kaum pribumi.

Masa penjajahan ini berlangsung sangat lama, hingga ratusan tahun. Selama berabad-abad, kaum pribumi mengalami masa-masa kelam dalam ketidak pastian. Hidup di bawah garis kemiskinan, tanpa akses pendidikan ataupun pelayanan publik yang baik. Hasil panen dan jerih payah mereka pun harus diserahkan sebagian kepada penguasa.

Ketika para penjajah ini dianggap melukai rasa keadilan, mengoyak martabat dan harga diri, serta melahirkan penderitaan, barulah muncul perlawanan. Perlawanan ini awalnya dilakukan oleh pemimpin atau tokoh yang dianggap kharismatik dan memiliki pengaruh di masyarakat. Umumnya, perlawanan ini dipimpin oleh raja, bangsawan, pemuka agama, bahkan rakyat biasa yang diyakini memiliki kesaktian atau kekuatan lebih.

Perlawanan ini bersifat kedaerahan atau lokal. Mereka hanya akan melakukan perlawanan ketika wilayah mereka diganggu. Pun, mereka tidak akan membantu wilayah lain yang bukan menjadi urusan mereka.

LAHIRNYA POLITIK ETIS

Penjajahan yang berlangsung selama berabad-abad ini ternyata mendorong seorang wartawan untuk mengkritik pemerintah Hindia Belanda. Wartawan dari koran De Locomotief bernama Pieter menullis sindiran sikap tak acuh Eropa di Hindia Belanda ketika terjadi wabah kolera yang menimbulkan banyak korban jiwa bagi masyarakat pribumi. Selain itu, C. Th. van Deventer, seorang ahli hukum Belanda mengkritik sistem tanam paksa.

Kritik ini menyatakan bahwa pemerintah Belanda memegang tanggung jawab moral bagi kesejahteraan pribumi. Pemerintah Belanda harus membayar hutang budi dengan meningkatkan kesejahteraan rakyat di negara jajahan.

Kritik-kritik ini menjadi perhatian serius oleh pemerintah kolonial Belanda dan membuat Ratu Wilhelmina memunculkan kebijakan baru bagi daerah jajahan. Kebijakan ini dikenal dengan politik etis. Kebijakan ini dituangkan dalam program Trias van Deventer. Program ini diterapkan di Indonesia pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Alexander W. F. Idenburg pada tahun 1909 sampai tahun 1916.

Ada tiga program penting dalam politik etis, yaitu irigasi, imigrasi, dan edukasi. Irigasi diperlukan untuk membangun dan memperbaiki pengairan dan bendungan untuk pertanian. Migrasi dilakukan untuk mendorong transmigrasi demi keseimbangan jumlah penduduk di berbagai kota pada masa itu. Sedangkan edukasi dilaksanakan untuk memperluas bidang pendidikan dan pengajaran bagi masyarakat pribumi di Hindia Belanda.

Meski terlihat seperti sebuah rencana program yang baik, sayangnya pemerintah Hindia Belanda menjalankannya dengan semena-mena. Irigasi justru digunakan untuk mengairi perkebunan milik Belanda dan tidak menyentuh lahan pertanian masyarakat setempat. Program imigrasi dimanfaatkan untuk mengirimkan tenaga kerja murah untuk dipekerjakan di wilayah Sumatera. Sedangkan program edukasi dimanfaatkan untuk menghasilkan tenaga kerja yang diperlukan oleh pemerintah kolonial. Program politik etis pada akhirnya tidak memberikan banyak manfaat bagi masyarakat Indonesia pada saat itu.

TUMBUHNYA KESADARAN KEBANGSAAN

Dari tiga program Trias van Deventer, program edukasi menjadi program yang paling berpengaruh bagi masyarakat di Hindia Belanda. Adanya program edukasi ini melahirkan golongan elit baru di Indonesia yang disebut sebagai golongan priyayi.

Golongan priyayi adalah golongan yang mengenyam pendidikan di sekolah yang dibentuk oleh pemerintah kolonial. Sekolah-sekolah yang dibentuk oleh pemerintah kolonial ini menerapkan pendidikan gaya barat. Seusai sekolah, golongan priyayi tersebut banyak yang berprofesi sebagai dokter, guru, jurnalis, dan pegawai pemerintahan.

Selain profesi yang lebih menjanjikan, golongan ini memiliki pemikiran yang lebih maju serta sadar terhadap penindasan-penindasan yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda. Kemunculan golongan priyayi mengubah corak perjuangan masyarakat dalam melawan penindasan pemerintah kolonial, yang tadinya bersifat kedaerahan menjadi bersifat nasional. Inilah titik awal pergerakan nasional dimulai.

PERGERAKAN NASIONAL

Pergerakan nasional dipimpin oleh para kaum terpelajar. Menurut mereka, perlawanan fisik sudah tidak lagi relevan untuk melawan penindasan pemerintah kolonial. Oleh karena itu, mereka membentuk organisasi-organisasi sebagai motor penggerak perlawanan.

Akhirnya, lahirlah berbagai organisasi kebangsaan untuk pertama kalinya pada kurun waktu 1908 hingga 1920. Terdapat tiga organisasi pergerakan nasional yang lahir pada periode ini, yaitu Budi Utomo, Sarekat Islam, dan Indische Partij. Organisasi-organisasi ini lebih mengedepankan diplomasi ketimbang kekerasan. Selain itu, mereka juga memanfaatkan media massa sebagai alat perjuangan. Munculnya organisasi-organisasi kebangsaan ini menjadi tanda dimulainya pergerakan nasional dengan visi yang jelas, yaitu Indonesia merdeka.

Perjuangan bangsa Indonesia untuk mencapai kemerdekaan semakin terarah setelah berbagai organisasi ini lahir. Namun, butuh waktu yang cukup panjang hingga Indonesia berhasil memproklamasikan kemerdekaannya. Kamu bisa membaca penjelasan yang lebih detail mengenai sejarah pergerakan nasional yang tentunya dibahas lebih lengkap dan seru melalui video pembelajaran di aplikasi belajar online Pahamify. Yuk, download dan langganan Pahamify sekarang!

Penulis: Aivia Awin


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *